DALIL DZIKIR MENGGUNAKAN TASBIH
Dzikir adalah suatu cara/media untuk mengingat Allah. Semua
aktivitas yang tujuanya untuk mengingat kepada Allah dinamakan dzikir. Allah
memerintahkan kita untuk senantiasa berdzikir dalam setiap keadaan (QS. An
Nisa’ 103) dan sepanjang waktu (QS. Thoha 130). Dzikir merupakan salah satu
sarana komunikasi antara makhluk dengan khaliqnya (QS. Al Baqarah 152). Dengan berdzikir seseorang dapat meraih ketenangan, karena pada saat berdzikir ia telah menemukan tempat berlindung dan kepasrahan
total kepada Allah SWT (QS. Ar Ra’du 28). Dengan berdzikir, ampunan dan pahala
yang besar menanti (QS. Al Ahzab 35), keberuntungan diraih (QS. Al Anfal 45),
dan dengan memperbanyak dzikir berarti membedakan diri dari kaum munafiq (QS.
An Nisa’ 142).
Demikian sebagian kecil dari faidah berdzikir. Oleh
karenanya Allah memerintahkan kita untuk senantiasa memperbanyak dzikir
kepadaNya baik setelah shalat dan ibadah lainya maupun dalam
aktivitas-aktivitas keseharian kita (QS. An Nisa’ 103).
Namun sebagian kecil umat Islam ada saja yang
mempertanyakan, mengapa ada yang membatasi dzikir dengan bilangan-bilangan
tertentu? Bukankan Allah memerintahkan untuk memperbanyak dan tidak membatasi
dengan bilangan? Bahkan ada yang sampai tega menuduh bahwa berdzikir dengan
bilangan tertentu adalah bid’ah yang sesat dan mengada-ngada. Na’udzu Billah …
Berdzikir dengan jumlah bilangan tertentu jelas
dibolehkan dalam syariah, bahkan Nabi Muhammad Saw sendiri juga memberi
petunjuk tentang berdzikir dengan bilangan tertentu. Diantaranya hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim no 1380:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- « مَنْ سَبَّحَ اللَّهَ فِى دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ
وَحَمِدَ اللَّهَ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ وَكَبَّرَ اللَّهَ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ فَتِلْكَ
تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ وَقَالَ تَمَامَ الْمِائَةِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ
لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ
غُفِرَتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ
Artinya:
Dari Abi Hurairah Ra, dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Barangsiapa
yang mengucapkan “subhaanallah” setiap selesai shalat 33 kali, “alhamdulillah”
33 kali dan “Allahu Akbar” 33 kali; yang demikian berjumlah 99 dan
menggenapkannya menjadi seratus dengan:
(لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا
شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ )
Maka
akan diampuni kesalahannya, sekalipun seperti buih lautan” [HR Muslim dari Abu
Hurairah]
Tidak
hanya berdzikir setelah shalat saja yang menggunakan hitungan tertentu, pada
hadits yang lain, Al-Imam Ahmad ibn Hanbal meriwayatkan dari sahabat ‘Abdullah
ibn ‘Amr bahwa Rasulullah saw bersabda;
مَنْ قَالَ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ
وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ
شَىْءٍ قَدِيْرٌ مِائَتَيْ مَرَّةٍ فِيْ يَوْمٍ لَمْ يَسْبِقْهُ أَحَدٌ كَانَ
قَبْلَهُ وَلاَ يُدْرِكُهُ أَحَدٌ بَعْدَهُ إِلاَّ بِأَفْضَلَ مِنْ عَمَلِهِ"
(رواه أحمد)
Artinya “Barang
siapa membaca:
“لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ
الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيْرٌ”
sebanyak dua ratus kali dalam sehari,
maka tidak ada seorangpun sebelumnya yang bisa mendahuluinya dan tidak ada seorang-pun setelahnya yang
bisa menyamainya, kecuali orang yang melakukan amal yang lebih afdlal darinya”
(HR Ahmad).
Demikian juga Imam Muslim meriwayatkan
dari sahabat Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda tentang keutamaan membaca
tasbih pada pagi dan sore hari dengan bilangan tertentu;
مَنْ قَالَ حِيْنَ يُصْبِحُ وَحِيْنَ
يُمْسِيْ: سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ مِائَةَ مَرَّةٍ، لَمْ يَأْتِ أَحَدٌ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِأَفْضَلَ مِمَّا جَاءَ بِهِ إِلاَّ أَحَدٌ قَالَ مِثْلَ مَا
قَالَ أَوْ زَادَ عَلَيْهِ (رواه مسلم)
“Barangsiapa membaca di pagi
dan petang hari: “Subhanallah Wa Bihamdih”
sebanyak seratus kali, maka tidak ada seorangpun di hari kiamat nanti yang bisa
mengunggulinya kecuali orang yang membaca seperti yang dibacanya atau lebih
banyak darinya”. - HR. Muslim
Para
shahabat juga banyak yang mempraktekan dzikir dengan bilangan tertentu. Seperti
Abu Hurairah yang mengatakan :” Sungguh saya meminta ampunan kepada Allah
(beristighfar) dan bertaubat setiap hari sebanyak 12.000 kali, hal ini sesuai
dengan tebusan dosa saya. (lihat al-Bidayah wa an-Nihayah 8/120), Khalid bin
Ma’dan bertasbih setiap hari sebanyak 40.000 tasbih selain al-Quran, bahkan
saat beliau meninggal dan saat diletakan diatas meja, jari jemarinya masih
bergerak bertasbih (Lihat Tadzkirah al-Huffadz 1/93).
Jadi
…. Berdzikir dengan bilang tertentu jelas diperbolehkan dan memiliki dasar yang
kuat bahkan Nabi Muhammad Saw sendiri menganjurkanya sesuai dengan petunjuk
yang diberikanya. Sebaliknya, justru yang melarang dzikir dengan jumlah
tertentu merekalah yang melakukan bid’ah, karena mengada-ada hukum yang tidak
ada dasarnya dalam agama.
Lantas
ada lagi yang menggugat, mengapa memakai tasbih dalam berdzikir? Bukankah itu
tidak dilakukan sendiri oleh Nabi Saw?
Jika
berdzikir dengan bilangan tertentu dibolehkan, maka tentu saat berdzikir
membutuhkan bantuan untuk menghitungnya. Tasbih adalah salah satu alat/media
untuk membantu menghitung dzikir yang dibaca.
Tasbih
dalam bahasa Arab disebut dengan as-subhah atau al-misbahah.
Yaitu untaian mutiara atau manik-manik dengan benang yang biasa digunakan untuk
menghitung jumlah tasbih. Nabi Saw sendiri meghitung dzikirnya dengan
menggunakan jari-jari tangan Beliau yang mulia. Dalam hadits diriwayatkan:
عَنْ
عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رضي الله عنه قَالَ: رَأَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم يَعْقِدُ التَّسْبِيْحَ
بِيَمِيْنِهِ.
Artinya:
Dari Abdullah bin Umar Ra, dia berkata: “Aku melihat Rasulullah meng-hitung
bacaan tasbih (dengan jari-jari) tangan kanannya. (HR. Abu Dawud dengan lafazh
yang sama 2/81, At-Tirmidzi 5/521, dan lihat Shahihul Jami’ 4/271, no. 4865)
Namun
menghitung dzikir dengan jari tangan bukanlah satu-satunya cara yang dibolehkan
Rasulullah Saw, terbukti banyak pula sahabat Beliau yang berdzikir menggunakan
selain dengan jari tangan, seperti dengan kerikil, biji kurma, benang yang
dibuat bundelan, dan Rasulullah Saw saat itu tidak mengingkari atau
melarangnya. Kalau memang menghitung dzikir dengan kerikil semisalnya tidak
boleh, tentu Rasulullah secara tegas akan melarangnya.
Berikut
beberapa hadits yang menceritakan bahwasanya Rasulullah Saw tidak mengingkari
cara berdzikir dengan menggunakan selain jari.
Pertama,
Hadits riwayat Sa’d ibn Abi Waqas bahwa dia bersama Rasulullah melihat seorang
perempuan sedang berdzikir. Di depan perempuan tersebut terdapat biji-bijian
atau kerikil yang dia digunakan untuk mengira-ngira dzikirnya. Lalu
Rasulullah berkata kepadanya;
أُخْبِرُكِ بِمَا هُوَ أَيْسَرُ عَلَيْكِ مِنْ هَذَا أَوْ أَفْضَلُ، سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِيْ السَّمَاءِ وَسُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِيْ الأَرْضِ وَسُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا بَيْنَ ذلِكَ وَسُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ وَاللهُ أَكْبَرُ مِثْلَ ذلِكَ وَالْحَمْدُ لله مِثْلَ ذلِكَ وَلاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ مِثْلَ ذلِكَ وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ مِثْلَ ذلِكَ (رواه الترمذي )
Artinya: “Aku beritahu kamu cara yang
lebih mudah dari ini atau lebih afdal. Bacalah: “Subhanallah
‘Adada Ma Khalaqa Fi as-Sama’, Subhanallah ‘Adada Ma Khalaqa Fi al-Ardl,
Subhanallah ‘Adada Ma Baina Dzalika, Subhanallah ‘Adada Ma Huwa Khaliq”,
(Subhanallah - maha suci Allah- sebanyak makhluk yang Dia ciptakan di langit,
Subhanallah sebanyak makhluk yang Dia ciptakan di bumi, Subhanallah sebanyak
makhluk yang Dia ciptakan di antara langit dan bumi, Subhanallah sebanyak semua
makhluk yang Dia ciptakan). Kemudian baca “Allahu
Akbar” seperti itu. Lalu baca “Alhamdulillah”
seperti itu. Dan baca “La Ilaha Illallah”
seperti itu. Serta baca “La Hawla Wala Quwwata Illa
Billah” seperti itu. (HR. at-Tirmidzi)
Hadits ini dinilai Hasan, dinyatakan Shahih oleh Ibn Hibban dan al-Hakim,
Serta dinilai Hasan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Takhrij al-Adzkar.
Syekh Mulla ‘Ali al-Qari ketika menjelaskan hadits Sa’d ibn Abi Waqas
di atas, dalam kitab Syarh al-Misykat, menuliskan sebagai berikut;
وَهذَا أَصْلٌ صَحِيْحٌ لِتَجْوِيْزِ السُّبْحَةِ بِتَقْرِيْرِهِ صَلّى اللهُ عَليْهِ وَسَلّمَ فَإِنَّهُ فِيْ مَعْنَاهَا، إِذْ لاَ فَرْقَ بَيْنَ الْمَنْظُوْمَةِ وَالْمَنْثُوْرَةِ فِيْمَا يُعَدُّ بِهِ.
Artinya: “Ini adalah dasar yang soheh untuk membolehkan penggunaan tasbih, kerana tasbih ini semakna dengan biji-bijian dan kerikil tersebut. Kerana tidak ada bezanya antara yang tersusun rapi (diuntai dengan tali) atau yang terpencar (tidak teruntai) bahawa setiap itu semua adalah alat untuk menghitung zikir” [Syarh al-Misykat, j. 3, h. 54].
Kedua, Hadits diriwayatkan dari Umm al-Mukminin, salah
seorang isteri Rasulullah bernama Shafiyyah. Bahawa beliau (Shafiyyah) berkata;
دَخَلَ عَلَيَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ عَليهِ وَسَلّمَ وَبَيْنَ يَدَيَّ أَرْبَعَةُ آلاَفِ نَوَاةٍ أُسَبِّحُ بِهَا، فَقَالَ: لَقَدْ سَبَّحْتِ بِهَذَا؟ أَلاَ أُعَلِّمُكِ بِأَكْثَرَ مِمَّا سَبَّحْتِ بِهِ؟ فَقَالَتْ: عَلِّمْنِيْ، فَقَالَ: قُوْلِيْ سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ مِنْ شَىْءٍ (رواه الترمذي والحاكم والطبرانيّ وغيرهم )
Artinya: “Suatu ketika Rasulullah menemuiku dan ketika itu ada di hadapanku empat ribu biji-bijian yang aku gunakan untuk berzikir. Lalu Rasulullah berkata: Kamu telah bertasbih dengan biji-bijian ini? Maukah kamu aku ajari yang lebih banyak dari ini? Shafiyyah menjawab: Iya, ajarkanlah kepadaku. Lalu Rasulullah bersabda: “Bacalah: “Subhanallah ‘Adada Ma Khalaqa Min Sya’i” - HR. at-Tirmidzi, al-Hakim, ath-Thabarani dan lainnya)
Al-Hafizh Ibn Hajar menilai hasan hadits ini dalam kitab Nataij
al-Afkar Fi Takhrij al Adzkar.
Seperti halnya pada hadits pertama, Rasullah Saw juga tidak
mengingkari apalagi melarang Shafiyyah yang berdzikir mennggunakan
bijih-bijihan untuk menghitungnya. Rasulullah Saw hanya menyarankan bacaan
tasbih yang lebih utama dan besar pahalanya yaitu dengan membaca:
سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ مِنْ
شَىْءٍ
Mana yang lebih utama,
menghitung dengan jari atau dengan tasbih?
Dzikir yang dibaca oleh seseorang
jika dihitung dengan jari-jari tangan kanan itu lebih afdal. Karena itu itba’
dengan Rasulullah (warid) dengan perkataan dan dengan perbuatannya sendiri.
Namun demikian, hal ini bukan
bererti menghitung zikir dengan sesuatu yang lain itu tidak boleh atau
dillarang, karena banyak shahabat beliau yang bedzikir dengan biji-biji kurma,
kerikil dan untaian benang tidak dilarang oleh Rasulullah padahal beliau
mengetahuinya.
Imam Ibn Hajar al-Haitami dalam kitab al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah, menuliskan bahawa
sebagian ulama telah merinci tentang keutamaan berzikir antara dengan jari-jari
atau dengan untaian tasbih. Beliau menuliskan sebagai berikut:
إِنْ أَمِنَ الْمُسَبِّحُ الْغَلَطَ كَانَ عَقْدُهُ بِالأَنَامِلِ أَفْضَلَ، وَإِلاَّ فَالسُّبْحَةُ أَفْضَلُ.
“Jika orang yang berzikir tidak khawatir
salah kira maka mengira dzikir dengan jari-jari tangan hukumnya lebih
afdhal. Namun jika ia khuatir salah hitung maka menghitung dengan tasbih lebih
afdhal” [al-Fatwa al-Kubra, j. 1, h. 152].
Kalau menghitung dengan jari-jari
tidak takut salah hitungan maka
menggunakan jari-jari tangan lebih utama, namun jika khawatir salah
hitung maka menggunakan tasbih lebih utama.
Dengan uraaian singkat diatas,
kita berharap sesama muslim tidak perlu saling menyalahkan orang lain yang
berdzikir dengan bilangan tertentu dan menggunakan tasbih, karena masing-masing
memiliki sandaran yang sama dari Nabi Muhammad Saw. apalagi sampai
membid’ahkan, menyesatkan atau dianggap menyerupai orang kafir. Karena Nabi
Muhammad Saw sendiri tidak sampai melarangnya apalagi mengatakan tidak ada
gunanya dzikir menggunakan tasbih.
KESIMPULAN:
1.
Memperbanyak dzikir kepada Allah dengan kalimah-kalimah thayyibah
adalah diperintahkan oleh Allah.
2.
Berdzikir memiliki banyak faidah dan hikmah seperti; membuat hati
tenang, mendapat ampunan dan pahala yang besar, semakin dekat dengan Allah,
mendapat keberuntungan dan menjadi pembeda dari orang munafiq.
3.
Berdzikir dengan hitungan tertentu dibolehkan oleh agama, bahkan
Rasulullah Saw juga menyarankan hitungan-hitungan tertentu dalam berdzikir,
bukan dalam arti membatasi dzikir tapi melatih kita istiqamah.
4.
Menghitung dzikir dengan tasbih adalah dibolehkan dan tidak
bertentangan atau dilarang oleh Nabi Saw. Beliau sendiri menghitung bacaan
tasbihnya dengan jari tangan kanannya, namun juga tidak mengingkari shahabat
yang menghitung menggunakan kerikil, bijih-bijihan, untaian benang dan
lain-lainya.
5.
Bila tidak dikhawatirkan lupa atau salah dalam menghitung dzikir,
maka menghitung dzikir dengan jari lebih utama, namun jika dikhawatirkan salah
atau lupa maka menghitung dengan tasbih lebih utama.
Demikian, semoga
bermanfaat, Wallahu A’lam.
Like
and Share @portal Muslim Beriman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar