Rabu, 28 Agustus 2019

HAK – HAK ANAK DENGAN HIV AIDS DALAM PERSPEKTIF ISLAM


A.    Hak-hak ADHA
Deskripsi Masalah:
  • Dani (13 tahun) bukan nama sebenarnya adalah seorang Anak Dengan HIV AIDS (ADHA). Dani menjadi ADHA tertular dari ibunya. Ayah dan ibu Dani sudah cukup lama meninggal dunia. Kini Dani seorang ADHA yatim piatu. Dani hidup bersama Bawen neneknya di sebuah desa di Kebumen.
  •  Dani tersebut di atas sebenarnya sudah masuk sekolah di sebuah lembaga pendidikan tidak jauh dari desanya. Kebetulan Dani sakit agak lama sehingga dia lama juga tidak masuk sekolah. Setelah sembuh, Dani ingin masuk sekolah kembali, akan tetapi pihak lembaga pendidikan tempat Dani belajar menyarankan agar Dani sementara jangan bersekolah dulu. Padahal Dani ingin bersekolah lagi dan bercita-cita jadi masinis. Pihak keluarga jadi khawatir bahwa pihak lembaga pendidikan tempat Dani belajar itu mengetahui status Dani sebagai ADHA dan mengucilkan Dani.
  • Dani sekarang ini mendapatkan layanan obat, vitamin, dan susu dari rumah sakit. 

Bahwa status ADHA seperti Dani sebenarnya cukup banyak di tengah masyarakat pedesaan/perkotaan di berbagai wilayah di Indonesia. Dani bagaimana pun juga bagian dari warga masyarakatnya.
Pertanyaan:
  1. Apa hukumnya memelihara anak yatim/yatim piatu berstatus ADHA? Bagaimana hukumnya merawat anak/cucu yang berstatus ADHA? Apa kewajiban orangtua/kerabat/keluarga terhadap anggota keluarganya yang berstatus ADHA yatim/yatim piatu?
  2. Bagaimana hukumnya  mentelantarkan warga masyarakat yang berstatus ADHA? Apa kewajiban pemerintah desa/kecamatan/ kabupaten terhadap warganya yang berstatus ADHA?
  3. Apakah ADHA berhak mendapatkan pendidikan di sekolah/madrasah bersama-sama dengan anak yang lain yang Non-ADHA?  Bagaimana hukumnya mengucilkan dan atau mengeluarkan siswa dari sekolah/madrasah  yang diketahui berstatus ADHA? Apa kewajiban sekolah/madrasah terhadap siswanya yang berstatus ADHA?
  4. Sampai kapan ADHA berhak mendapatkan bantuan layanan obat,vitamin, dan susu dari rumah sakit/pemerintah?
  5. Pada umumnya, orangtua/nenek si ADHA takut memberitahukan status ADHA kepada ADHA (anak/cucunya). Bahkan saat memberi obat pun seringkali mereka berbohong. Bagaimana hukumnya orangtua/nenek yang demikian terhadap anak/cucunya?
  6. Pada umumnya ADHA tertular dari ibunya yang berstatud ODHA, dan ibunya itu biasanya tertular juga dari ayah si ADHA.  Pendek kata, status ADHA disebabkan oleh orangtuanya yang cenderung ceroboh. Jiks demikian, jika orangtuanya masih hidup fan atau sudah meninggal dunia, bagaimana hukumnya birrul walidain ADHA kepada ayah/ibunya?

Jawaban:
  1. Hukum memelihara anak yatim berstatus ADHA dan kewajiban keluarga terhadap mereka.

Anak yatim adalah anak kecil yang belum dewasa yang ditinggal mati ayahnya,[1] sementara ia masih belum mampu mewujudkan kemashlahatan untuk diri dan hartanya. Pemeliharaan serta pembinaan anak yatim sangat dianjurkan dalam Islam dan tidak terbatas pada hal-hal yang bersifat fisik saja, tetapi secara umum meliputi hal-hal yang bersifat psikis. Hal itu karena keberadaan mereka yang termasuk dalam kategori kaum dhu’afa terlebih lagi anak-anak yatim yang menyandang status ADHA yang jelas-jelas membutuhkan perhatian khusus dalam merawat dirinya.
Yusuf al-Qardhawi mengatakan,[2]
المريض إنسان ضعيف يحتاج إلى الرعاية والمساندة. والرعاية أو المساندة ليست مادية فحسب كما يحسب الكثيرون بل هي مادية ومصنوية معا.
"Orang sakit itu manusia lemah yang membutuhkan perawatan dan dukungan. Rawatan dan dukungan ini tidak hanya secara materi saja, sebagai mana pandangan kebanyakan orang, tetapi materi dan non materi sekaligus".
Keberadaan anak yatim dalam al Qur’an setidaknya  disebutkan dalam 23 tempat yang meliputi perihal perlindungan terhadap anak yatim, mendatangkan maslahat/kebaikan bagi diri dan properti mereka,  pernikahan, anjuran memuliakan dan menjaga psikis mereka.[3]
Memelihara anak yatim tidak hanya bernilai social tetapi juga bagian dari din (agama). Karenanya Islam menempatkanya dalam kategori fardhu kifayah. Dimana jika waliyul amri (pemerintah) tidak mengurus dan tidak ada seorang pun yang mengurus dia maka kaum muslimin semuanya berdosa. Hal itu karena keberadaan anak yatim yang dipandang sebagai golongan yang lemah yang membutuhkan.   
Merawat dan mengasuh anak yatim  baik yang berstatus ADHA maupun yang bukan, utamanya merupakan tanggung jawab keluarga, teman, tetangga dan masyarakat/pemerintah. Sebagaimana Firman Alloh Swt:
وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ [الأنفال: 75]
Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Namun demikian, sebenarnya tanggung jawab mengurus anak yatim tidak hanya sebatas oleh keluarganya tapi juga oleh orang/pihak lain. Nabi Saw bersabda
عن أَبي هريرة - رضي الله عنه - ، قَالَ : قَالَ رَسُول الله - صلى الله عليه وسلم - : (( كَافلُ اليَتيِم لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ أَنَا وَهُوَ كَهَاتَيْنِ في الجَنَّةِ )) وَأَشَارَ الرَّ اوِي وَهُوَ مَالِكُ بْنُ أنَس بالسَّبَّابَةِ وَالوُسْطَى . رواه مسلم
Dari Abu Hurairoh Ra berkata, Rasulullah Saw bersabda: "Orangyang menanggung anak yatim miliknya atau milik orang lain, aku dan dia seperti dua ini disurga. Mālik mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengah.(HR. Muslim)
Imam Nawawi dalam Syarah Muslim[4] menjelaskan perihal hadits diatas:
كافل اليتيم القائم بأموره من نفقة وكسوة وتأديب وتربيه وغير ذلك وهذه الفضيلة تحصل لمن كفله من مال نفسه أو من مال اليتيم بولاية شرعية وأما قوله له أو لغيره فالذى له أن يكون قريبا له كجده وأمه وجدته وأخيه وأخته وعمه وخاله وعمته وخالته وغيرهم من أقاربه والذى لغيره أن يكون أجنبيا
Orang yang menanggung anak yatim adalah orang yang mengurusi anak yatim dalam urusan nafkah, sandang, pendidikan,pengajaran dan lain-lainnya. Keutamaan ini diperoleh bagi orang yang menanggung anak yatim baik dari hartanya sendiri maupun dari harta si yatim sesuai dengan ketentuan syara’. Adapun sabda Nabi Saw.”anak yatim miliknya maupun milik orang lain” maka yang dimaksud “anak  yatim miliknya” ialah manakala ia menjadi kerabat dari si yatim missal menjadi kakeknya, ibunya, neneknya, saudara laki-lakinya, saudara perempuanya, pamannya, bibinya dan saudara yang lainya. Dan yang dimaksud “anak yatim milik orang lain yakni manakala ia adalah orang lain dari si yatim. 

Sementara anak yatim dengan kebutuhan khusus seperti berstatus ADHA maka kerabatnya juga bertanggung jawab dalam hal perawatan mereka. Dalam al Maushu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyah[5] dijelaskan

صَرَّحَ الْفُقَهَاءُ بِأَنَّ التَّمْرِيضَ فَرْضُ كِفَايَةٍ ، فَيَقُومُ بِهِ الْقَرِيبُ ، ثُمَّ الصَّاحِبُ ، ثُمَّ الْجَارُ ، ثُمَّ سَائِرُ النَّاسِ الموسوعة الفقهية الكويتية (14/ 18)
Para ulama ahli fiqih menjelaskan bahwa perawatan terhadap orang yang sakit merupakan fardlu kifayah yang dilakukan oleh kerabatnya, lalu temannya, tetangganya dan masyarakat.

Namun jika mereka tidak memiliki sanak kerabat atau kerabatnya tidak mampu merawatnya maka pemerintah dan umat Islamlah yang mengambil alih tugas ini.
فأما إذا لم يكن لذلك المريض من يمرّضه، وكان يناله ضررٌ بغيبته، فهذا أبهمه الفقهاء، ولم يفصلوه على ما ينبغي، وأنا أقول فيه: من أشرف على الهلاك من المسلمين وأمكن إنقاذه، فإنقاذه فرض على الكفاية، ولو تركه أهلُ القُطر حتى هلك حَرِجوا من عند آخرهم، وعليه يخرج إطعام المضطر.  الى أن قال .. . نعم يجب على الإمام تعهد هؤلاء وسد خلاّتهم من مال المصالح؛ فإن سبيل تعلّق استحقاق هؤلاء بمال بيت المال، كسبيل تعلق حق الولد الفقير بمال الأب الغني،)نهاية المطلب في دراية المذهب الجزء الثاني صـ: 518
Apabila orang yang sakit tidak ada yang merawatnya sehingga ia terkena bahaya karena ketiadaan yang merawatnya maka masalah ini disamarkan oleh para fuqoha dan mereka tidak memberi rincian  apa yang seyogyanya. Akan tetapi aku berpendapat dalam hal ini, apabila ada orang yang nyaris mati namun masih mungkin diselamatkan  maka menyelamatkanya hukumnya fardlu kifayah, andaikan seluruh penduduk didaerah itu tidak menyelamatkan sehingga ia menjadi mati karenanya maka mereka semua berdosa....wajib bagi imam (pemerintah) memperhatikan mereka dan memenuhi kebutuhannya dari bait al maal (kas negara). Hubungan hak mereka dari harta bait al maal seperti hubungan hak anak yang fakir dengan harta ayahnya yang kaya.[6]  

2.    Hukum  mentelantarkan warga masyarakat yang berstatus ADHA dan kewajiban pemerintah terhadap warganya yang berstatus ADHA.
Penularan virus HIV terjadi karena adanya kontak langsung dinding sel tubuh yang terbuka dengan cairan tubuh pengidap HIV melalui darah, sprema, cairan vagina, cairan preseminal dan air susu ibu. Penularan tersebut bisa jadi dalam situasi tidak melanggar syari’at, semisal dalam kasus hubungan suami istri dimana salah satunya terjangkit HIV, menyusui anaknya, dan transfusi darah. Akan tetapi sangat dimungkinkan penularan tersebut disebabkan oleh hal-hal yang melanggar syari’at, seperti seks bebas, ano-genital, dan narkoba.
Oleh karena itu, perlu adanya penyadaran kepada semua pihak terhadap cara-cara penularannya, terutama yang melanggar syari’at. Harus ada ikhtiar secara massif untuk melindungi putera-puteri kita agar tidak terjerumus dalam perilaku menyimpang. Hal ini bukan hanya karena merugikan secara fisik, tetapi lebih karena perbuatan tersebut terkutuk. Kesadaran beragama, pencerahan, bimbingan, dan konseling  harus terus dikanpanyekan dan diusahakan. Ini adalah tugas para ulama, kiai, tokoh masyarakat, guru, orang tua, dan semual elemen masyarakat. Dalam ukuran tertentu, penyadaran saja malah tidak cukup. Harus ada intervensi kekuasaan dari para umara’. Sayyidina Utsman berkata:
إن الله ليزع بالسلطان ما لا يزع بالقرأن. (بهاء الدين محمد بن يوسف بن يعقوب الجندي الكندي، السلوك في طبقات العلماء والملوك، تحقيق محمد بن علي بن الحسين الأكوع الحوالي، صنعاء-مكتبة الإرشاد، 1995م، الجزء الأول، ص. 64(
“Sesungguhnya Allah mengatur dengan kekuasaan (pemerintah) sesuatu yang tidak diatur dengan al-Quran”.[7]
Mengingat cara penularannya dimungkinkan melalui hal-hal yang tidak melanggar syari’at, maka orang yang telah terjangkit virus HIV&AIDS tidak boleh begitu saja dituduh sebagai ‘ashi (orang yang maksiat)  karena boleh jadi dia tertular melalui sebab-sebab yang sah. Sebaliknya, orang yang sehat wal-afiyat juga tidak mesti lebih bersih dibanding mereka. Oleh karena itu, sikap yang paling baik adalah menghindari prasangka buruk (su’u al-dzann), termasuk stigmatisasi kepada penderita HIV&AIDS.

 Allah SWT. Berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ )الحجرات/12(
“Wahai orang-orang yang beriman, hindarilah banyak persangka, karena sesungguhnya sebagian dari perasangka itu dosa". (QS. Al-Hujurat:12)
Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah Nabi bersabda:
إياكم والظن فإن الظن أكذب الحديث (متفق عليه(
"Jauhkan dirimu dari prasangka, karena perangsangka adalah perkataan yang yang paling bohong". (HR.Bukhori-Muslim)
Bahkan, terhadap mereka yang nyata-nyata terinfeksi HIV melalui cara-cara yang tidak sah secara sya’i, caci maki dan mengolok-olok tetap tidak boleh dilakukan. Dalam sebuah Hadits, Nabi bersabda:
من عير أخاه بذنب لم يمت حتى يعمله (أخرجه الترمذي(
"Barang siapa yang mencela saudaranya dengan suatu dosa, maka dia tidak akan meninggal sampai dia melakukan dosa tersebut". (HR.Tirmidzi)
Bila melihat kenyataan penyebaran penyakit AIDS  disebabkan oleh kuman HIV (Humman Immuno deficiency Virus) yang menyerang sistem kekebalan tubuh maka Secara fiqh, AIDS dapat dikategorikan sebagai dlarar ‘am (bahaya umum) karena sudah menimbulkan masalah sosial dan kemanusiaan.
Pada dasarnya, kewajiban menjaga dari HIV&AIDS pertama-tama dan terutama berada di pundak masing-masing pribadi. Setiap orang wajib menjaga keharmonisan dan keseimbangan fungsi organ-organ tubuh. Hadirnya penyakit  hanyalah konsekwensi logis dari tubuh yang tidak normal. Sengaja membiarkan tubuh tidak berjalan sesuai dengan tabi’atnya yang sehat dipandang sebagai tindakan mencelakakan diri. Al-Qur’an sangat tegas melarang seseorang untuk menceburkan diri ke dalam kehancuran.
وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“....Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik” (QS. Al-Baqarah: 195)

Kewajiban menjaga diri ini juga dapat dipahami dari adanya perintah untuk berobat, sebagaimana Hadits
إن الله أنزل الداء والدواء وجعل لكل داء دواء فتداووا ولا تداووا بحرام (رواه أبو داوود(
“Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obat. Dan Allah telah menciptakan obat untuk semua penyakit. Maka berobatlah, dan jangalah engkau berobat dengan hal-hal yang haram” (HR. Abu Dawud)

Mengingat bahwa dalam masyarakat terdapat pelapisan sosial, dimana ada individu yang mampu menjaga kesehatan dan ada yang tidak, maka masyarakat (termasuk didalamnya jam’iyyah NU) secara kolektif berkewajiban mengingatkan dan menjaga warganya dari HIV&AIDS sesuai porsinya masing-masing. Sesama anggota masyarakat wajib menyadarkan betapa bahayanya HIV&AIDS, dan pada saat yang sama juga membantu menangani dan menanggulanginya. Dengan cara demikian, secara fakultatif penaggulangan HIV&AIDS akan tercapai secara sempurna.
ويجب عليه أي على كل مكلف بذل النصيحة للمسلمين: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: الدين النصيحة قالوا له: لمن قال: لله ورسوله ولأئمة المسلمين وعامتهم. قال ابن حجر فى شرح الأربعين: اي بإرشادهم لمصالحهم فى أمر اخرتهم ودنياهم وإعانتهم عليها بالقول والفعل وستر عوراتهم وسد خلاتهم ودفع المضار عنهم وجلب المنافع لهم. (محمد بن سالم بن سعيد بابصيل، اسعاد الرفيق، سورابايا-مكتبة الهداية، ص. 65(
“Setiap orang mukallaf wajib memberikan nasihat kepada orang-orang muslim. Rasulullah Saw. bersabda “ Agama adalah nasihat, para sahabat bertanya kepada Nabi, untuk siapa? Nabi menjawab: untuk Allah, Rasulnya, dan para imam orang muslimin dan awamnya. Ibn Hajar  berkata dalam Syarh al-Arba`in: Yakni dengan menunjukkan mereka kepada kemaslahatan dunia dan akhira, membantu dengan perkataan, perbuatan, menututup aib mereka, menutupi pelbagai kekurangan, menghindarkan marabahaya dan mendatangkan manfaat bagi mereka." [8]

Oleh karena kemampuan individu dan masyarakat relatif terbatas dibanding kemampuan negara, maka pada titik tertentu campur tangan negara tidak bisa terelakkan. Negara dengan instrumen kekuasaan yang dimilikinya harus mampu menyelesaikan problem HIV&AIDS dari penduduknya agar kemaslahatan ammah dapat terrealisasikan.
) القاعدة الخامسة تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة ) هذه القاعدة نص عليها الشافعي وقال منزلة الإمام من الرعية منزلة الولي من اليتيم قلت : و أصل ذلك : ما أخرجه سعيد بن منصور في سننه قال حدثنا أبو الأحوص عن أبي إسحاق عن البراء بن عازب قال : قال عمر رضي الله عنه : إني أنزلت نفسي من مال الله بمنزلة والي اليتيم إن احتجت أخذت منه فإذا أيسرت رددته فإن استغنيت استعففت...... وولي الأمر مأمور بمراعاة المصلحة و لا مصلحة في حمل الناس على فعل المكروه. ومنها : أنه ليس له العفو عن القصاص مجانا لأنه خلاف المصلحة بل إن رأى المصلحة في القصاص اقتص أو في الدية أخذها و منها : أنه لا يجوز له أن يقدم في مال بيت المال غير الأحوج على الأحوج. قال السبكي في فتاويه فلو لم يكن إمام فهل لغير الأحوج أن يتقدم بنفسه فيما بينه و بين الله تعالى إذا قدر على ذلك ملت إلى أنه لا يجوز (جلال الدين السيوطي، الأشباه والنظائر، بيروت-دار الكتب العلمية، 1403هـ، ص. 121-122(
"(Kaidah yang kelima: Perlakuan (kebijakan) imam atas rakyat harus mengacu pada maslahat). Kaidah ini di nash oleh imam Syafi`i, beliau berkata: Posisi imam atas rakyat itu seperti posisinya wali atas anak yatim. Saya berkata: Dasar kaidah tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh Said bin Mansur dalam kitab Sunan-nya. Ia berkata: Abu al-Akhwash bercerita kepada kami, dari Abi Ishaq, dari al-Barra’ bin ‘Azib, dia berkata: Umar r.a. berkata: Sesungguhnya aku memposisikan dirikku dari harta Allah seperti posisi seorang wali anak yatim( dari hartanya), jika aku butuh, aku mengambilnya, kemudian jika aku punya maka aku kembalikanya. Jika aku tidak butuh, maka aku  menjaga diri untuk tidak mengambilnya...  Pemimpin (orang yang mempunyai kewenangan) diperintahkan untuk menjaga maslahat. Dan  tidak termasuk kategori maslahat mengarahkan manusia untuk melakukan perkara yang di dibenci (makruh). Di antara contohnya adalah imam tidak boleh memberikan ampunan atas hukuman qishosh dengan cuma-cuma  ( tanpa membayar denda(diyat), karena hal ini bertentangan dengan prinsip maslahat. Aka tetapi jika dia melihat maslahat itu ada pada qishosh maka dia harus memutuskan qishosh. Atau dalam denda ( diyat), dia harus mengambil denda tersebut. Di antara contohnya adalah dalam urusan( pendistribusian) harta  baitul mal, Imam tidak boleh mendahulukan (memprioritaskan) orang yang tidak membutuhkan ( kaya) dari pada  orang yang membutuhkan ( miskin). Imam as-Subki dalam kitab Fatawa-nya mengatakan: Jika tidak ada Imam ( pemimpin) apakan orang yang tidak membutuhkan boleh mengajukan dirinya dalam urusan antara dirinya dengan Allah Swt. jika ia mampu?  Saya cenderung berpendapat bahwa hal tersebut tidak boleh."[9]

وشرط وجوب الأمر بالمعروف أن يأمن على نفسه وعضوه وماله وإن قل كما شمله كلامهم بل وعرضه كما هو ظاهر وعلى غيره بأن يخاف عليه مفسدة أكثر من مفسدة المنكر الواقع (سليمان الجمل، حاشية الجمل على شرح المنهج، بيروت-دار الكتب العلمية، الطبعة الأولى، 1418هـ/1992م،  الجزء الثامن، ص. 83(
“Dan syarat wajib amar makruf adalah adanya keamanan (keselamatan) atas nyawa, anggota badan dan harta miliknya, sekalipun sedikit. Hal ini sebagaimana yang terkandung dalam pandangan para ulama. Bahkan termasuk keamanan bagi harga dirinya, sebagai mana yang tampak tersurat pada ungkapan para ulama (dzohir). Dan juga keamanan bagi orang lain. Seperti kekhawatiran terjadinya kerusakan (mafsadah) yang lebih besar yang akan menimpa padanya, dibanding kerusakan yang timbul dari kemungkaran yang telah terjadi”.[10]

3.    Hak ADHA terhadap akses pendidikan yang layak.
Berhubung menurut para pakar kedokteran dan kesehatan, penularan virus HIV&AIDS hanya terjadi karena adanya kontak langsung dinding sel tubuh yang terbuka dengan cairan tubuh pengidap HIV melalui darah, sprema, cairan vagina, cairan preseminal dan air susu ibu , maka tidak ada alasan yang bisa dibenarkan untuk menyisihkan penderita HIV&AIDS dari pergaulan. Oleh karena itu, mereka tetap berhak untuk bersekolah, bekerja, dan hidup bermasyarakat bersama orang-orang yang sehat. Wahbah al-Zuhaily menjelaskan:

بناء على ما تقدم فإن عزل المصابين من التلاميذ أو العاملين أوغيرهم عن زملائهم الأصحاء ليس له ما يسوغه. (وهبة الزحيلي،الفقه الإسلامي وأدلته، بيروت-دار الفكر، الطبعة إحدى وثلاثون، 1430هـ/2009م، الجزء الثامن، ص. 822(
"Berdasarkan atas keterangan yang telah lalu, maka tidak ada alasan yang dibenarkan mengisolasi para siswa atau pekerja atau lainnya yang terjangkit penyakit AIDS dari teman-teman mereka yang sehat".[11]

4.    Hak ADHA untuk mendapatkan bantuan layanan pengobatan dari rumah sakit/pemerintah.
Penyebab seseorang terinfeksi virus HIV bisa jadi melalui cara-cara yang benar atau cara-cara yang melanggar. Apapun penyebabnya, hasilnya adalah mereka menjadi sakit, dan oleh karena itu menjadi kaum dhu’afa yang perlu  mendapatkan perhatian, santunan dan support, baik moral maupun materiil. Nabi bersabda:

عن أنس رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم انصر أخاك ظالما أو مظلوما فقال رجل يا رسول الله أنصره إذا كان مظلوما أفرأيت إذا كان ظالما كيف أنصره قال تحجزه أو تمنعه من الظلم فإن ذلك نصره (رواه البخاري)
 “Dari Anas r.a. dia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Tolonglah saudaramu yang lalim atau yang terlalimi. Lalu seorang laki-laki bertanya, wahai Rasulullah, aku bisa menolongnya jika di lalimi, baritahu kami, bagaimana jika lalim, bagai mana aku menolongnya. Nabi menjawab: “Kamu halangi dia, atau cegah dia dari perbuatan lalim, sesungguhnya demikian itulah cara menolongnya". (HR. al-Bukhori)

Yusuf al-Qardhawi mengatakan,

المريض إنسان ضعيف يحتاج إلى الرعاية والمساندة. والرعاية أو المساندة ليست مادية فحسب كما يحسب الكثيرون بل هي مادية ومصنوية معا. (يوسف القرضاوى, فتاوى معاصرة، بيروت-دار القلم، الطبعة التاسعة، 1422هـ/2001م، الجزء الثاني، ص. 560(
"Orang sakit itu manusia lemah yang membutuhkan perawatan dan dukungan. Rawatan dan dukungan ini tidak hanya secara materi saja, sebagai mana pandangan kebanyakan orang, tetapi materi dan non materi sekaligus". (Yusuf al-Qardhawi, Fatawa Mu`ashirah, Bairut-Dar al-Qalam, cet ke-9, 1422 H/2001 M, Vol: II, h. 560)
 Wahbah al-Zuhaily menyatakan:
من حق المصاب بعدوى الإيدز أن يحصل على العلاج والرعاية الصحية اللذين تتطلبهما حالته الصحية، مهما كانت طريقة إصابته بالعدوى. (وهبة الزحيلي،الفقه الإسلامي وأدلته، بيروت-دار الفكر، الطبعة إحدى وثلاثون، 1430هـ/2009م، الجزء الثامن، ص.825(
"Diantara hak orang yang terjangkit penyakit AIDS adalah hak pengobatan dan perawatan kesehatan, yang mana kedua hal tersebut ia  butuhkan  ketika  masih sehat, apapun media yang menyebabkan ia terkena penyakit tersebut ". (Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Bairut-Dar al-Fikr, cet ke-31, 1430 H/2009 M, Vol: VIII, h. 825)

5.    Pada umumnya, orangtua/nenek si ADHA takut memberitahukan status ADHA kepada ADHA (anak/cucunya). Bahkan saat memberi obat pun seringkali mereka berbohong. Bagaimana hukumnya orang tua/nenek yang demikian terhadap anak/cucunya?

6.    Hukum Birrul Walidain ADHA terhadap orang tua yang telah menularkan HIV AIDS padanya.
ADHA tetap wajib berbakti dan berbuat baik kepada orang tuanya meskipun keduanya termasuk orang yang fasiq. Perilaku orang tuanya yang telah coroboh sehingga mengakibatkan ia berstatus ADHA tidak menggugurkan kewajibannya untuk berbakti kepada orang tuanya selama tidak dalam konteks kemaksiatan.

( ومن الفرائض ) العينية على كل مكلف ( بر الوالدين ) أي الإحسان إليهما ( ولو كانا فاسقين ) بغير الشرك بل ( وإن كانا مشركين ) للآيات الدالة على العموم ، والحقوق لا تسقط بالفسق ولا بالمخالفة في الدين ، فيجب على الولد المسلم أن يوصل أباه الكافر إلى كنيسته إن طلب منه ذلك وعجز عن الوصول بنفسه لنحو عمى كما قاله ابن قاسم ، كما يجب عليه أن يدفع لهما ما ينفقانه في أعيادهما لا ما يصرفانه في نحو الكنيسة أو يدفعانه للقسيس .

Termasuk fardhu ain atas mukallaf adalah birrul walidain, walaupun keduanya fasik maupun musyrik karena adanya ayat yang menunjukkan atas keumumannya. Dan hak-hak tidak bisa gugur sebab kefasikan, tidak pula sebab menyelisihi agama. Jadi wajib bagi anak yang islam mengantarkan orang tuanya yang kafir sampai ke gereja jika orang tuanya memerintahkannya sebab kesulitan untuk sampai kesana dengan dirinya sendiri misalnya karena buta sebagaimana penjelasan Ibnu qosim. Dan sebagaimana wajib bagi anak yang muslim memberikan kepada kedua orang tuanya, apa yang di nafkahkan untuk keduanya dalam hari raya, tidak wajib memberikan harta yang digunakan oleh orang tuanya untuk gereja atau untuk diberikan kepada pendeta.[12]

B.     Ibu Hamil ODHA
Deskripsi Masalah
  • Yuki, Susi, dan Emi adalah ibu-ibu  dengan status sebagai Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) yang tertular dari suaminya. Mereka kini tengah mengandung (hamil). Mereka berharap anaknya kelak lahir selamat dan sehat tidak tertular dan menjadi ADHA.
  • Kasus seperti ketiga calon ibu tersebut cukup banyak di tengah masyarakat.


Permasalahan
  1. Apa hukumnya merawat calon anak yang masih dalam kandungan seorang ibu yang berstatus ODHA? Apakah ada tuntunan dalam Islam agar supaya anak kelak lahir dalam keadaan selamat dari tertular HIV?
  2. Bagaimana hukumnya melahirkan dengan Caesar untuk meminimalisir kemungkinan anak tertular HIV dari ibunya?
  3. Bagaimana hukumnya menyusui anak bagi seorang ibu yang berstatus ODHA?

Jawaban:
  1. 1. Hukum merawat calon anak yang masih dikandungan seorang ibu yang berstatus ODHA.

Seorang ibu yang berstatus ODHA tetap wajib merawat kandunganya dan tidak boleh menggugurkannya sepanjang dalam penilaian ahli kedokteran tidak membahayakan bagi dirinya dan kandungannya. Meskipun ada resiko bayi yang dikandungnya akan tertular, selama resiko itu belum nyata tidak boleh dijadikan alasan untuk menggugurkanya.
Dalam keputusan  Rabithah al-‘Alam al-Islāmiy dalam muktamar ke IX tahun 1995 di Abu Dhabi disebutkan point berikut:

 ثالثاً: إجهاض الأم المصابة بعدوى مرض نقص المناعة المكتسب (الإيدز): نظراً لأن انتقال العدوى من الحامل المصابة بمرض نقص المناعة المكتسب (الإيدز) إلى جنينها لا تحدث غالباً إلا بعد تقدم الحمل -نفخ الروح في الجنين- أو أثناء الولادة، فلا يجوز إجهاض الجنين شرعاً.

Point ketiga: pengguguran kandungan ibu yang terkena HIV. Dengan melihat bahwa penularan dari ibu hamil yang terinfeksi HIV (AIDS) ke janinnya seringnya tidak terjadi kecuali setelah kehamilan telah berkembang (ditiupkanya ruh dalam janin) ataua saat proses melahirkan oleh karena itu maka secara syara’ tidak boleh menggugurkan janin tersebut.  

  1. 2.  Hukumnya melahirkan dengan Caesar untuk meminimalisir kemungkinan anak tertular HIV

Operasi Caesar adalah proses persalinan dengan melalui pembedahan, dimana irisan dilakukan di perut ibu (laparatomi), dan rahim (histerotomi), untuk mengeluarkan bayi. Bedah caesar umumnya dilakukan ketika proses persalinan normal melalui vagina tidak memungkinkan. Karena berisiko kepada komplikasi medis lainnya.
Melahirkan dengan metode Caesar hukumnya boleh ketika memenuhi ketentuan-ketentuan secara syariat, yaitu;
1)   Dalam kondisi dharurat, yaitu adanya kekhawatiran terancamnya jiwa ibu, bayi, atau keduanya secara bersamaan. Operasi caesar untuk menyelamatkan jiwa ibu, misalnya untuk ibu yang mengalami eklampsia (kejang dalam kehamilan), mempunyai penyakit jantung, persalinan tiba-tiba macet, pendarahan banyak selama kehamilan, infeksi dalam rahim, atau dinding rahim yang menipis akibat bedah caesar atau operasi rahim sebelumnya. Operasi caesar untuk menyelamatkan jiwa bayi, yaitu jika sang ibu sudah meninggal dunia tapi bayi yang berada di dalam perutnya masih hidup. Operasi caesar untuk menyelamatkan jiwa ibu dan bayi secara bersamaan, adalah ketika air ketuban pecah, namun belum ada kontraksi akan melahirkan, bayi terlilit tali pusar, sehingga tidak dapat keluar secara normal, usia bayi belum matang (prematur), posisi bayi sungsang dan lain-lain.
2)   Dalam kondisi hajat, yaitu kondisi di mana menurut dukun/bidan/dokter ahli operasi merupakan jalan terbaik untuk menghindari kondisi tertentu pada bayi atau ibunya misalnya untuk menghindari cacat fisik, atau seperti kondisi ibu yang kesulitan untuk melahirkan, atau efek negatif berkepanjangan pada ibu. Hal tersebut juga harus didasarkan pada pertimbangan dampak negatif yang akan timbul apabila melalui proses persalinan yang wajar.

Dalam Fatwa Al Azhar dijelaskan:

وبما قلناه ينفق معنى الحديث الشريف وقواعد الدين الإسلامى القويم، فإنها مبنية على رعاية المصالح الراجحة، وتحمل الضرر الأخف لجلب مصلحة تفويتها أشد من هذا الضرر على أن الظاهر الآن أنه يجوز شق بطن الحى إذا ظن أنه لا يموت بهذا الشق وكان فيه مصلحة له. ولعل الفقهاء لم ينصوا على مثل هذا ،بل أطلقوا القول فى تحريم شق بطن الحى، لأن فن الجراحة لم يكن قد تقدم فى زمنهم كما هو الآن وبهذا علم الجواب عن السؤال . واللّه سبحانه وتعالى أعلم )فتاوى الأزهر (6 / 177)

Dan apa yang telah kami katakan adalah arti dari Hadis dan aturan agama Islam tegak didasarkan pada upaya perlindungan pada maslahat/kepentingan yang paling penting dan melakukan kerusakan yang paling ringan demi kepentingan/maslahat kehilangan lebih dari kerusakan ini. Sekarang jelas bahwa itu diperbolehkan untuk membedah perut orang yang masih hidup apabila diduga ia tidak meninggal sebab pembedahan itu dan adanya maslahat baginya. Mungkin fuqaha ' tidak menetapkan hal semacam itu, tetapi mereka mengatakan bahwa haram untuk membedah  perut orang yang masih hidup, karena cabang ilmu operasi tidak maju dalam waktu mereka seperti pada masa sekarang ini. (Fatawa al Azhar juz 6 hlm 177)



  1. 3     Hukum menyusui anak bagi seorang ibu yang berstatus ODHA.

Dalam agama, seorang ibu yang berstatus ODHA boleh mengasuh anaknya yang sehat dan menyusuinya selama tidak dilarang secara medis dan menilainya dapat menularkan. Namun apabila dalam pandangan medis hal tersebut sangat berresiko menularkan maka dalam hal ini ibu yang berstatus ODHA tidak boleh menyusui anaknya yang sehat untuk menjaga maslahat yang lebih besar yaitu kesehatan anak.

رابعاً: حضانة الأم المصابة بمرض نقص المناعة المكتسب (الإيدز) لوليدها السليم وإرضاعه: لما كانت المعلومات الطبية الحاضرة تدل على أنه ليس هناك خطر مؤكد من حضانة الأم المصابة بعدوى مرض نقص المناعة المكتسب (الإيدز) لوليدها السليم، وإرضاعها له، شأنها في ذلك شأن المخالطة والمعايشة العادية، فإنه لا مانع شرعاً من أن تقوم الأم بحضانته ورضاعته ما لم يمنع من ذلك تقرير طبي.

Keempat: Pengasuhan dan menyusuinya ibu yang positif HIV AIDS kepada anaknya yang sehat (negativ HIV).
Karena informasi medis saat ini menunjukkan bahwa tidak ada risiko yang pasti dari pengasuhan dan penyusuan ibu yang terinfeksi HIV AIDS pada anaknya yang sehat. Konteksnya adalah  konteks interaksi dan pergaulan sehari-hari, karenanya tidak ada larang dalam agama seorang ibu mengasuh anaknya dan menyusuinya selama tidak ada larang menurut ketentuan medis.


   [1] Al Azhary, Tahdzib al Lughoh, TK:TP, juz 5 hlm 29
[2] Yusuf al-Qardhawi, Fatawa Mu`ashirah, Bairut-Dar al-Qalam, cet ke-9, 1422 H/2001 M, Vol: II, h. 560
[3] Bakr Abu Zaid, Adwa’ al Bayan, Makah: Dar al Fawaid, 1426 H, vol 8 hlm 564  
[4] Yahya bin Syaraf, Syarh Nawawi ‘ala Muslim, Bairut: Dar Ihya’ Turats, 1392 H vol 18 hlm 113
[5] Wizarat al Auqof wa Syu’un al Islamiyah, Maushu’ah al Fiqhiyyah al Quwaitiyah, Kuwait: Dar al Salasil, Cet 2 vol 14 hlm 18
[6] Imam al Haramain, Nihayat al Mathlab fi Dirayat al Madzhab, Bairut: Dar al Minhaj, 2007, vol 2 hlm 518
[7] Bahauddin Muhammad bin Yusuf, bin Ya`qub al-Jundi al-Kindi, as-Suluk fi Thabaqat al-Ulama wa al-Muluk, tahqiq, Muhammad bin Ali bin Husain  al-Akwa` al-Hawali, Shan`a-Maktabah al-Irsyad, 1995 M, Vol: I, h. 640
[8] Muhammad Salim bin Sa`id Babashil, Is`ad ar-Rafiq, Surabaya-Maktabah al-Hidayah, h. 65
[9] Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, Bairut-Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1403 H, h. 121 -122
[10]  Sulaiman al-Jamal, Hasyiah al-Jamal ala Syar al-Manhaj, Beirut-Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet ke-1, 1418/1992, Vol: VIII, h. 83
[11]  Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Bairut-Dar al-Fikr, cet ke-31, 1430 H/2009 M, Vol: VIII, h. 822
[12] Al Fawaqih al Duwani ‘ala Risalat Ibni Abi Zaid, vol 2 hlm 290

Tidak ada komentar:

Posting Komentar