A. Hak-hak ADHA
Deskripsi
Masalah:
- Dani (13 tahun) bukan nama sebenarnya adalah seorang Anak Dengan HIV AIDS (ADHA). Dani menjadi ADHA tertular dari ibunya. Ayah dan ibu Dani sudah cukup lama meninggal dunia. Kini Dani seorang ADHA yatim piatu. Dani hidup bersama Bawen neneknya di sebuah desa di Kebumen.
- Dani tersebut di atas sebenarnya sudah masuk sekolah di sebuah lembaga pendidikan tidak jauh dari desanya. Kebetulan Dani sakit agak lama sehingga dia lama juga tidak masuk sekolah. Setelah sembuh, Dani ingin masuk sekolah kembali, akan tetapi pihak lembaga pendidikan tempat Dani belajar menyarankan agar Dani sementara jangan bersekolah dulu. Padahal Dani ingin bersekolah lagi dan bercita-cita jadi masinis. Pihak keluarga jadi khawatir bahwa pihak lembaga pendidikan tempat Dani belajar itu mengetahui status Dani sebagai ADHA dan mengucilkan Dani.
- Dani sekarang ini mendapatkan layanan obat, vitamin, dan susu dari rumah sakit.
Bahwa
status ADHA seperti Dani sebenarnya cukup banyak di tengah masyarakat
pedesaan/perkotaan di berbagai wilayah di Indonesia. Dani bagaimana pun juga
bagian dari warga masyarakatnya.
Pertanyaan:
- Apa hukumnya memelihara anak yatim/yatim piatu berstatus ADHA?
Bagaimana hukumnya merawat anak/cucu yang berstatus ADHA? Apa kewajiban
orangtua/kerabat/keluarga terhadap anggota keluarganya yang berstatus ADHA
yatim/yatim piatu?
- Bagaimana hukumnya
mentelantarkan warga masyarakat yang berstatus ADHA? Apa kewajiban
pemerintah desa/kecamatan/ kabupaten terhadap warganya yang berstatus ADHA?
- Apakah ADHA berhak mendapatkan pendidikan di sekolah/madrasah
bersama-sama dengan anak yang lain yang Non-ADHA? Bagaimana hukumnya mengucilkan dan atau
mengeluarkan siswa dari sekolah/madrasah
yang diketahui berstatus ADHA? Apa kewajiban sekolah/madrasah terhadap
siswanya yang berstatus ADHA?
- Sampai kapan ADHA berhak mendapatkan bantuan layanan obat,vitamin,
dan susu dari rumah sakit/pemerintah?
- Pada umumnya, orangtua/nenek si ADHA takut memberitahukan status ADHA
kepada ADHA (anak/cucunya). Bahkan saat memberi obat pun seringkali mereka
berbohong. Bagaimana hukumnya orangtua/nenek yang demikian terhadap
anak/cucunya?
- Pada umumnya ADHA tertular dari ibunya yang berstatud ODHA, dan
ibunya itu biasanya tertular juga dari ayah si ADHA. Pendek kata, status ADHA disebabkan oleh
orangtuanya yang cenderung ceroboh. Jiks demikian, jika orangtuanya masih hidup
fan atau sudah meninggal dunia, bagaimana hukumnya birrul walidain ADHA kepada
ayah/ibunya?
Jawaban:
- Hukum memelihara anak yatim berstatus ADHA dan kewajiban keluarga
terhadap mereka.
Anak yatim adalah anak kecil yang belum dewasa yang ditinggal mati
ayahnya,[1]
sementara ia masih belum mampu mewujudkan kemashlahatan untuk diri dan
hartanya. Pemeliharaan serta pembinaan anak yatim sangat dianjurkan dalam Islam
dan tidak terbatas pada hal-hal yang bersifat fisik saja, tetapi secara umum
meliputi hal-hal yang bersifat psikis. Hal itu karena keberadaan mereka yang
termasuk dalam kategori kaum dhu’afa terlebih lagi anak-anak yatim yang
menyandang status ADHA yang jelas-jelas membutuhkan perhatian khusus dalam
merawat dirinya.
Yusuf al-Qardhawi mengatakan,[2]
المريض إنسان ضعيف يحتاج إلى الرعاية والمساندة.
والرعاية أو المساندة ليست مادية فحسب كما يحسب الكثيرون بل هي مادية ومصنوية معا.
"Orang
sakit itu manusia lemah yang membutuhkan perawatan dan dukungan. Rawatan dan
dukungan ini tidak hanya secara materi saja, sebagai mana pandangan kebanyakan
orang, tetapi materi dan non materi sekaligus".
Keberadaan
anak yatim dalam al Qur’an setidaknya
disebutkan dalam 23 tempat yang meliputi perihal perlindungan terhadap
anak yatim, mendatangkan maslahat/kebaikan bagi diri dan properti mereka, pernikahan, anjuran memuliakan dan menjaga psikis
mereka.[3]
Memelihara
anak yatim tidak hanya bernilai social tetapi juga bagian dari din (agama). Karenanya
Islam menempatkanya dalam kategori fardhu kifayah. Dimana jika waliyul
amri (pemerintah) tidak mengurus dan tidak ada seorang pun yang mengurus
dia maka kaum muslimin semuanya berdosa. Hal itu karena keberadaan anak yatim
yang dipandang sebagai golongan yang lemah yang membutuhkan.
Merawat
dan mengasuh anak yatim baik yang berstatus
ADHA maupun yang bukan, utamanya merupakan tanggung jawab keluarga, teman,
tetangga dan masyarakat/pemerintah. Sebagaimana Firman Alloh Swt:
وَأُولُو
الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ [الأنفال: 75]
Orang-orang
yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya
(daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.
Namun
demikian, sebenarnya tanggung jawab mengurus anak yatim tidak hanya sebatas oleh
keluarganya tapi juga oleh orang/pihak lain. Nabi Saw bersabda
عن أَبي
هريرة - رضي الله عنه - ، قَالَ : قَالَ رَسُول الله - صلى الله عليه وسلم - : ((
كَافلُ اليَتيِم لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ أَنَا وَهُوَ كَهَاتَيْنِ في الجَنَّةِ ))
وَأَشَارَ الرَّ اوِي وَهُوَ مَالِكُ بْنُ أنَس بالسَّبَّابَةِ وَالوُسْطَى . رواه
مسلم
Dari
Abu Hurairoh Ra berkata, Rasulullah Saw bersabda: "Orangyang menanggung
anak yatim miliknya atau milik orang lain, aku dan dia seperti dua ini disurga.
Mālik mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengah.(HR. Muslim)
Imam
Nawawi dalam Syarah Muslim[4]
menjelaskan perihal hadits diatas:
كافل
اليتيم القائم بأموره من نفقة وكسوة وتأديب وتربيه وغير ذلك وهذه الفضيلة تحصل لمن
كفله من مال نفسه أو من مال اليتيم بولاية شرعية وأما قوله له أو لغيره فالذى له أن
يكون قريبا له كجده وأمه وجدته وأخيه وأخته وعمه وخاله وعمته وخالته وغيرهم من
أقاربه والذى لغيره أن يكون أجنبيا
Orang
yang menanggung anak yatim adalah orang yang mengurusi anak yatim dalam urusan
nafkah, sandang, pendidikan,pengajaran dan lain-lainnya. Keutamaan ini
diperoleh bagi orang yang menanggung anak yatim baik dari hartanya sendiri maupun dari harta si yatim
sesuai dengan ketentuan syara’. Adapun sabda Nabi Saw.”anak yatim miliknya
maupun milik orang lain” maka yang dimaksud “anak yatim
miliknya” ialah manakala ia menjadi kerabat dari si yatim missal menjadi
kakeknya, ibunya, neneknya, saudara laki-lakinya, saudara perempuanya,
pamannya, bibinya dan saudara yang lainya. Dan yang dimaksud “anak yatim milik
orang lain yakni manakala ia adalah orang lain dari si yatim.
Sementara
anak yatim dengan kebutuhan khusus seperti berstatus ADHA maka kerabatnya juga
bertanggung jawab dalam hal perawatan mereka. Dalam al Maushu’ah al Fiqhiyyah
al Kuwaitiyah[5]
dijelaskan
صَرَّحَ
الْفُقَهَاءُ بِأَنَّ التَّمْرِيضَ فَرْضُ كِفَايَةٍ ، فَيَقُومُ بِهِ الْقَرِيبُ
، ثُمَّ الصَّاحِبُ ، ثُمَّ الْجَارُ ، ثُمَّ سَائِرُ النَّاسِ الموسوعة الفقهية
الكويتية (14/ 18)
Para ulama
ahli fiqih menjelaskan bahwa perawatan terhadap orang yang sakit merupakan
fardlu kifayah yang dilakukan oleh kerabatnya, lalu temannya, tetangganya dan
masyarakat.
Namun jika
mereka tidak memiliki sanak kerabat atau kerabatnya tidak mampu merawatnya maka
pemerintah dan umat Islamlah yang mengambil alih tugas ini.
فأما
إذا لم يكن لذلك المريض من يمرّضه، وكان يناله ضررٌ بغيبته، فهذا أبهمه الفقهاء،
ولم يفصلوه على ما ينبغي، وأنا أقول فيه: من أشرف على الهلاك من المسلمين وأمكن
إنقاذه، فإنقاذه فرض على الكفاية، ولو تركه أهلُ القُطر حتى هلك حَرِجوا من عند
آخرهم، وعليه يخرج إطعام المضطر.
الى أن قال .. . نعم يجب على الإمام تعهد هؤلاء وسد
خلاّتهم من مال المصالح؛ فإن سبيل تعلّق استحقاق هؤلاء بمال بيت المال، كسبيل تعلق
حق الولد الفقير بمال الأب الغني،)نهاية المطلب في دراية
المذهب الجزء الثاني صـ: 518
Apabila
orang yang sakit tidak ada yang merawatnya sehingga ia terkena bahaya karena
ketiadaan yang merawatnya maka masalah ini disamarkan oleh para fuqoha dan
mereka tidak memberi rincian apa yang
seyogyanya. Akan tetapi aku berpendapat dalam hal ini, apabila ada orang yang
nyaris mati namun masih mungkin diselamatkan
maka menyelamatkanya hukumnya fardlu kifayah, andaikan seluruh penduduk
didaerah itu tidak menyelamatkan sehingga ia menjadi mati karenanya maka mereka
semua berdosa....wajib bagi imam (pemerintah) memperhatikan mereka dan memenuhi
kebutuhannya dari bait al maal (kas negara). Hubungan hak mereka dari harta
bait al maal seperti hubungan hak anak yang fakir dengan harta ayahnya yang
kaya.[6]
2. Hukum mentelantarkan warga
masyarakat yang berstatus ADHA dan kewajiban pemerintah terhadap warganya yang
berstatus ADHA.
Penularan virus HIV
terjadi karena adanya kontak langsung dinding sel tubuh yang terbuka dengan
cairan tubuh pengidap HIV melalui darah, sprema, cairan vagina, cairan
preseminal dan air susu ibu. Penularan tersebut bisa jadi dalam situasi tidak
melanggar syari’at, semisal dalam kasus hubungan suami istri dimana salah
satunya terjangkit HIV, menyusui anaknya, dan transfusi darah. Akan tetapi
sangat dimungkinkan penularan tersebut disebabkan oleh hal-hal yang melanggar
syari’at, seperti seks bebas, ano-genital, dan narkoba.
Oleh karena itu, perlu
adanya penyadaran kepada semua pihak terhadap cara-cara penularannya, terutama
yang melanggar syari’at. Harus ada ikhtiar secara massif untuk melindungi
putera-puteri kita agar tidak terjerumus dalam perilaku menyimpang. Hal ini
bukan hanya karena merugikan secara fisik, tetapi lebih karena perbuatan
tersebut terkutuk. Kesadaran beragama, pencerahan, bimbingan, dan konseling harus terus dikanpanyekan dan diusahakan. Ini
adalah tugas para ulama, kiai, tokoh masyarakat, guru, orang tua, dan semual
elemen masyarakat. Dalam ukuran tertentu, penyadaran saja malah tidak cukup.
Harus ada intervensi kekuasaan dari para umara’. Sayyidina Utsman berkata:
إن الله ليزع بالسلطان
ما لا يزع بالقرأن. (بهاء الدين محمد بن يوسف بن يعقوب الجندي الكندي، السلوك في
طبقات العلماء والملوك، تحقيق محمد بن علي بن الحسين الأكوع الحوالي، صنعاء-مكتبة
الإرشاد، 1995م، الجزء الأول، ص. 64(
“Sesungguhnya Allah
mengatur dengan kekuasaan (pemerintah) sesuatu yang tidak diatur dengan
al-Quran”.[7]
Mengingat cara
penularannya dimungkinkan melalui hal-hal yang tidak melanggar syari’at, maka
orang yang telah terjangkit virus HIV&AIDS tidak boleh begitu saja dituduh
sebagai ‘ashi (orang yang maksiat)
karena boleh jadi dia tertular melalui sebab-sebab yang sah. Sebaliknya,
orang yang sehat wal-afiyat juga tidak mesti lebih bersih dibanding mereka.
Oleh karena itu, sikap yang paling baik adalah menghindari prasangka buruk
(su’u al-dzann), termasuk stigmatisasi kepada penderita HIV&AIDS.
Allah SWT. Berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ )الحجرات/12(
“Wahai orang-orang yang
beriman, hindarilah banyak persangka, karena sesungguhnya sebagian dari
perasangka itu dosa". (QS. Al-Hujurat:12)
Dalam sebuah Hadits
yang diriwayatkan Abu Hurairah Nabi bersabda:
إياكم والظن فإن الظن
أكذب الحديث (متفق عليه(
"Jauhkan dirimu
dari prasangka, karena perangsangka adalah perkataan yang yang paling
bohong". (HR.Bukhori-Muslim)
Bahkan, terhadap mereka
yang nyata-nyata terinfeksi HIV melalui cara-cara yang tidak sah secara sya’i,
caci maki dan mengolok-olok tetap tidak boleh dilakukan. Dalam sebuah Hadits,
Nabi bersabda:
من عير أخاه بذنب لم
يمت حتى يعمله (أخرجه الترمذي(
"Barang siapa yang
mencela saudaranya dengan suatu dosa, maka dia tidak akan meninggal sampai dia
melakukan dosa tersebut". (HR.Tirmidzi)
Bila
melihat kenyataan penyebaran penyakit AIDS
disebabkan oleh kuman HIV (Humman Immuno deficiency Virus) yang
menyerang sistem kekebalan tubuh maka Secara fiqh, AIDS dapat dikategorikan
sebagai dlarar ‘am (bahaya umum) karena sudah menimbulkan masalah sosial dan
kemanusiaan.
Pada
dasarnya, kewajiban menjaga dari HIV&AIDS pertama-tama dan terutama berada
di pundak masing-masing pribadi. Setiap orang wajib menjaga keharmonisan dan
keseimbangan fungsi organ-organ tubuh. Hadirnya penyakit hanyalah konsekwensi logis dari tubuh yang
tidak normal. Sengaja membiarkan tubuh tidak berjalan sesuai dengan tabi’atnya
yang sehat dipandang sebagai tindakan mencelakakan diri. Al-Qur’an sangat tegas
melarang seseorang untuk menceburkan diri ke dalam kehancuran.
وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى
التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“....Dan
janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat
baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik” (QS.
Al-Baqarah: 195)
Kewajiban
menjaga diri ini juga dapat dipahami dari adanya perintah untuk berobat,
sebagaimana Hadits
إن الله أنزل الداء
والدواء وجعل لكل داء دواء فتداووا ولا تداووا بحرام (رواه أبو داوود(
“Sesungguhnya
Allah menurunkan penyakit dan obat. Dan Allah telah menciptakan obat untuk
semua penyakit. Maka berobatlah, dan jangalah engkau berobat dengan hal-hal
yang haram” (HR. Abu Dawud)
Mengingat bahwa dalam
masyarakat terdapat pelapisan sosial, dimana ada individu yang mampu menjaga
kesehatan dan ada yang tidak, maka masyarakat (termasuk didalamnya jam’iyyah
NU) secara kolektif berkewajiban mengingatkan dan menjaga warganya dari
HIV&AIDS sesuai porsinya masing-masing. Sesama anggota masyarakat wajib
menyadarkan betapa bahayanya HIV&AIDS, dan pada saat yang sama juga
membantu menangani dan menanggulanginya. Dengan cara demikian, secara fakultatif
penaggulangan HIV&AIDS akan tercapai secara sempurna.
ويجب عليه أي على كل
مكلف بذل النصيحة للمسلمين: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: الدين النصيحة
قالوا له: لمن قال: لله ورسوله ولأئمة المسلمين وعامتهم. قال ابن حجر فى شرح
الأربعين: اي بإرشادهم لمصالحهم فى أمر اخرتهم ودنياهم وإعانتهم عليها بالقول
والفعل وستر عوراتهم وسد خلاتهم ودفع المضار عنهم وجلب المنافع لهم. (محمد بن سالم
بن سعيد بابصيل، اسعاد الرفيق، سورابايا-مكتبة الهداية، ص. 65(
“Setiap orang mukallaf
wajib memberikan nasihat kepada orang-orang muslim. Rasulullah Saw. bersabda “
Agama adalah nasihat, para sahabat bertanya kepada Nabi, untuk siapa? Nabi
menjawab: untuk Allah, Rasulnya, dan para imam orang muslimin dan awamnya. Ibn
Hajar berkata dalam Syarh al-Arba`in:
Yakni dengan menunjukkan mereka kepada kemaslahatan dunia dan akhira, membantu
dengan perkataan, perbuatan, menututup aib mereka, menutupi pelbagai
kekurangan, menghindarkan marabahaya dan mendatangkan manfaat bagi mereka."
[8]
Oleh karena kemampuan
individu dan masyarakat relatif terbatas dibanding kemampuan negara, maka pada
titik tertentu campur tangan negara tidak bisa terelakkan. Negara dengan
instrumen kekuasaan yang dimilikinya harus mampu menyelesaikan problem
HIV&AIDS dari penduduknya agar kemaslahatan ammah dapat terrealisasikan.
) القاعدة الخامسة تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة )
هذه القاعدة نص عليها الشافعي وقال منزلة الإمام من الرعية منزلة الولي من اليتيم
قلت : و أصل ذلك : ما أخرجه سعيد بن منصور في سننه قال حدثنا أبو الأحوص عن أبي
إسحاق عن البراء بن عازب قال : قال عمر رضي الله عنه : إني أنزلت نفسي من مال الله
بمنزلة والي اليتيم إن احتجت أخذت منه فإذا أيسرت رددته فإن استغنيت استعففت......
وولي الأمر مأمور بمراعاة المصلحة و لا مصلحة في حمل الناس على فعل المكروه. ومنها
: أنه ليس له العفو عن القصاص مجانا لأنه خلاف المصلحة بل إن رأى المصلحة في
القصاص اقتص أو في الدية أخذها و منها : أنه لا يجوز له أن يقدم في مال بيت المال
غير الأحوج على الأحوج. قال السبكي في فتاويه فلو لم يكن إمام فهل لغير الأحوج أن
يتقدم بنفسه فيما بينه و بين الله تعالى إذا قدر على ذلك ملت إلى أنه لا يجوز
(جلال الدين السيوطي، الأشباه والنظائر، بيروت-دار الكتب العلمية، 1403هـ، ص.
121-122(
"(Kaidah yang
kelima: Perlakuan (kebijakan) imam atas rakyat harus mengacu pada maslahat).
Kaidah ini di nash oleh imam Syafi`i, beliau berkata: Posisi imam atas rakyat
itu seperti posisinya wali atas anak yatim. Saya berkata: Dasar kaidah tersebut
adalah hadits yang diriwayatkan oleh Said bin Mansur dalam kitab Sunan-nya. Ia
berkata: Abu al-Akhwash bercerita kepada kami, dari Abi Ishaq, dari al-Barra’
bin ‘Azib, dia berkata: Umar r.a. berkata: Sesungguhnya aku memposisikan
dirikku dari harta Allah seperti posisi seorang wali anak yatim( dari
hartanya), jika aku butuh, aku mengambilnya, kemudian jika aku punya maka aku
kembalikanya. Jika aku tidak butuh, maka aku
menjaga diri untuk tidak mengambilnya...
Pemimpin (orang yang mempunyai kewenangan) diperintahkan untuk menjaga
maslahat. Dan tidak termasuk kategori
maslahat mengarahkan manusia untuk melakukan perkara yang di dibenci (makruh).
Di antara contohnya adalah imam tidak boleh memberikan ampunan atas hukuman
qishosh dengan cuma-cuma ( tanpa
membayar denda(diyat), karena hal ini bertentangan dengan prinsip maslahat. Aka
tetapi jika dia melihat maslahat itu ada pada qishosh maka dia harus memutuskan
qishosh. Atau dalam denda ( diyat), dia harus mengambil denda tersebut. Di
antara contohnya adalah dalam urusan( pendistribusian) harta baitul mal, Imam tidak boleh mendahulukan
(memprioritaskan) orang yang tidak membutuhkan ( kaya) dari pada orang yang membutuhkan ( miskin). Imam
as-Subki dalam kitab Fatawa-nya mengatakan: Jika tidak ada Imam ( pemimpin)
apakan orang yang tidak membutuhkan boleh mengajukan dirinya dalam urusan
antara dirinya dengan Allah Swt. jika ia mampu?
Saya cenderung berpendapat bahwa hal tersebut tidak boleh."[9]
وشرط وجوب الأمر بالمعروف أن يأمن على نفسه وعضوه وماله
وإن قل كما شمله كلامهم بل وعرضه كما هو ظاهر وعلى غيره بأن يخاف عليه مفسدة أكثر
من مفسدة المنكر الواقع (سليمان الجمل، حاشية الجمل على شرح المنهج، بيروت-دار
الكتب العلمية، الطبعة الأولى، 1418هـ/1992م،
الجزء الثامن، ص. 83(
“Dan syarat wajib amar
makruf adalah adanya keamanan (keselamatan) atas nyawa, anggota badan dan harta
miliknya, sekalipun sedikit. Hal ini sebagaimana yang terkandung dalam
pandangan para ulama. Bahkan termasuk keamanan bagi harga dirinya, sebagai mana
yang tampak tersurat pada ungkapan para ulama (dzohir). Dan juga keamanan bagi
orang lain. Seperti kekhawatiran terjadinya kerusakan (mafsadah) yang lebih
besar yang akan menimpa padanya, dibanding kerusakan yang timbul dari kemungkaran
yang telah terjadi”.[10]
3. Hak ADHA terhadap akses pendidikan yang layak.
Berhubung menurut para
pakar kedokteran dan kesehatan, penularan virus HIV&AIDS hanya terjadi
karena adanya kontak langsung dinding sel tubuh yang terbuka dengan cairan tubuh
pengidap HIV melalui darah, sprema, cairan vagina, cairan preseminal dan air
susu ibu , maka tidak ada alasan yang bisa dibenarkan untuk menyisihkan
penderita HIV&AIDS dari pergaulan. Oleh karena itu, mereka tetap berhak
untuk bersekolah, bekerja, dan hidup bermasyarakat bersama orang-orang yang
sehat. Wahbah al-Zuhaily menjelaskan:
بناء على ما تقدم فإن عزل المصابين من التلاميذ أو
العاملين أوغيرهم عن زملائهم الأصحاء ليس له ما يسوغه. (وهبة الزحيلي،الفقه
الإسلامي وأدلته، بيروت-دار الفكر، الطبعة إحدى وثلاثون، 1430هـ/2009م، الجزء
الثامن، ص. 822(
"Berdasarkan
atas keterangan yang telah lalu, maka tidak ada alasan yang dibenarkan
mengisolasi para siswa atau pekerja atau lainnya yang terjangkit penyakit AIDS
dari teman-teman mereka yang sehat".[11]
4. Hak ADHA untuk mendapatkan bantuan layanan pengobatan dari rumah
sakit/pemerintah.
Penyebab seseorang
terinfeksi virus HIV bisa jadi melalui cara-cara yang benar atau cara-cara yang
melanggar. Apapun penyebabnya, hasilnya adalah mereka menjadi sakit, dan oleh
karena itu menjadi kaum dhu’afa yang perlu mendapatkan perhatian, santunan dan support,
baik moral maupun materiil. Nabi bersabda:
عن أنس رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه
وسلم انصر أخاك ظالما أو مظلوما فقال رجل يا رسول الله أنصره إذا كان مظلوما أفرأيت
إذا كان ظالما كيف أنصره قال تحجزه أو تمنعه من الظلم فإن ذلك نصره (رواه البخاري)
“Dari Anas r.a. dia berkata: Rasulullah saw.
bersabda: “Tolonglah saudaramu yang lalim atau yang terlalimi. Lalu seorang
laki-laki bertanya, wahai Rasulullah, aku bisa menolongnya jika di lalimi,
baritahu kami, bagaimana jika lalim, bagai mana aku menolongnya. Nabi menjawab:
“Kamu halangi dia, atau cegah dia dari perbuatan lalim, sesungguhnya demikian
itulah cara menolongnya". (HR. al-Bukhori)
Yusuf al-Qardhawi mengatakan,
المريض إنسان ضعيف يحتاج إلى الرعاية والمساندة.
والرعاية أو المساندة ليست مادية فحسب كما يحسب الكثيرون بل هي مادية ومصنوية معا.
(يوسف القرضاوى, فتاوى معاصرة، بيروت-دار القلم، الطبعة التاسعة، 1422هـ/2001م،
الجزء الثاني، ص. 560(
"Orang sakit itu manusia
lemah yang membutuhkan perawatan dan dukungan. Rawatan dan dukungan ini tidak
hanya secara materi saja, sebagai mana pandangan kebanyakan orang, tetapi
materi dan non materi sekaligus". (Yusuf al-Qardhawi, Fatawa Mu`ashirah,
Bairut-Dar al-Qalam, cet ke-9, 1422 H/2001 M, Vol: II, h. 560)
Wahbah al-Zuhaily menyatakan:
من حق المصاب بعدوى الإيدز أن يحصل على العلاج والرعاية
الصحية اللذين تتطلبهما حالته الصحية، مهما كانت طريقة إصابته بالعدوى. (وهبة
الزحيلي،الفقه الإسلامي وأدلته، بيروت-دار الفكر، الطبعة إحدى وثلاثون،
1430هـ/2009م، الجزء الثامن، ص.825(
"Diantara hak
orang yang terjangkit penyakit AIDS adalah hak pengobatan dan perawatan
kesehatan, yang mana kedua hal tersebut ia
butuhkan ketika masih sehat, apapun media yang menyebabkan ia
terkena penyakit tersebut ". (Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa
Adillatuhu, Bairut-Dar al-Fikr, cet ke-31, 1430 H/2009 M, Vol: VIII, h. 825)
5. Pada umumnya, orangtua/nenek si ADHA takut memberitahukan status ADHA
kepada ADHA (anak/cucunya). Bahkan saat memberi obat pun seringkali mereka
berbohong. Bagaimana hukumnya orang tua/nenek yang demikian terhadap
anak/cucunya?
6. Hukum Birrul Walidain ADHA terhadap orang tua yang
telah menularkan HIV AIDS padanya.
ADHA tetap wajib berbakti dan berbuat baik kepada
orang tuanya meskipun keduanya termasuk orang yang fasiq. Perilaku orang tuanya
yang telah coroboh sehingga mengakibatkan ia berstatus ADHA tidak menggugurkan
kewajibannya untuk berbakti kepada orang tuanya selama tidak dalam konteks
kemaksiatan.
( ومن
الفرائض ) العينية على كل مكلف ( بر الوالدين ) أي الإحسان إليهما ( ولو كانا
فاسقين ) بغير الشرك بل ( وإن كانا مشركين ) للآيات الدالة على العموم ، والحقوق
لا تسقط بالفسق ولا بالمخالفة في الدين ، فيجب على الولد المسلم أن يوصل أباه
الكافر إلى كنيسته إن طلب منه ذلك وعجز عن الوصول بنفسه لنحو عمى كما قاله ابن
قاسم ، كما يجب عليه أن يدفع لهما ما ينفقانه في أعيادهما لا ما يصرفانه في نحو
الكنيسة أو يدفعانه للقسيس .
Termasuk fardhu ain atas mukallaf adalah birrul
walidain, walaupun keduanya fasik maupun musyrik karena adanya ayat yang
menunjukkan atas keumumannya. Dan hak-hak tidak bisa gugur sebab kefasikan,
tidak pula sebab menyelisihi agama. Jadi wajib bagi anak yang islam
mengantarkan orang tuanya yang kafir sampai ke gereja jika orang tuanya
memerintahkannya sebab kesulitan untuk sampai kesana dengan dirinya sendiri
misalnya karena buta sebagaimana penjelasan Ibnu qosim. Dan sebagaimana wajib
bagi anak yang muslim memberikan kepada kedua orang tuanya, apa yang di
nafkahkan untuk keduanya dalam hari raya, tidak wajib memberikan harta yang
digunakan oleh orang tuanya untuk gereja atau untuk diberikan kepada pendeta.[12]
B. Ibu Hamil ODHA
Deskripsi
Masalah
- Yuki, Susi, dan Emi adalah ibu-ibu dengan status sebagai Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) yang tertular dari suaminya. Mereka kini tengah mengandung (hamil). Mereka berharap anaknya kelak lahir selamat dan sehat tidak tertular dan menjadi ADHA.
- Kasus seperti ketiga calon ibu tersebut cukup banyak di tengah masyarakat.
Permasalahan
- Apa hukumnya merawat calon anak yang masih dalam kandungan seorang ibu yang berstatus ODHA? Apakah ada tuntunan dalam Islam agar supaya anak kelak lahir dalam keadaan selamat dari tertular HIV?
- Bagaimana hukumnya melahirkan dengan Caesar untuk meminimalisir kemungkinan anak tertular HIV dari ibunya?
- Bagaimana hukumnya menyusui anak bagi seorang ibu yang berstatus ODHA?
Jawaban:
- 1. Hukum merawat calon anak yang masih dikandungan seorang ibu yang berstatus ODHA.
Seorang
ibu yang berstatus ODHA tetap wajib merawat kandunganya dan tidak boleh
menggugurkannya sepanjang dalam penilaian ahli kedokteran tidak membahayakan
bagi dirinya dan kandungannya. Meskipun ada resiko bayi yang dikandungnya akan
tertular, selama resiko itu belum nyata tidak boleh dijadikan alasan untuk
menggugurkanya.
Dalam
keputusan Rabithah al-‘Alam al-Islāmiy dalam muktamar
ke IX tahun 1995 di Abu Dhabi disebutkan point berikut:
ثالثاً: إجهاض الأم
المصابة بعدوى مرض نقص المناعة المكتسب (الإيدز): نظراً لأن انتقال العدوى من الحامل
المصابة بمرض نقص المناعة المكتسب (الإيدز) إلى جنينها لا تحدث غالباً إلا بعد
تقدم الحمل -نفخ الروح في الجنين- أو أثناء الولادة، فلا يجوز إجهاض الجنين شرعاً.
Point
ketiga: pengguguran kandungan ibu yang terkena HIV. Dengan melihat bahwa penularan
dari ibu hamil yang terinfeksi HIV (AIDS) ke janinnya seringnya tidak terjadi
kecuali setelah kehamilan telah berkembang (ditiupkanya ruh dalam janin) ataua
saat proses melahirkan oleh karena itu maka secara syara’ tidak boleh
menggugurkan janin tersebut.
- 2. Hukumnya melahirkan dengan Caesar untuk meminimalisir kemungkinan anak tertular HIV
Operasi
Caesar adalah proses persalinan dengan melalui pembedahan, dimana irisan
dilakukan di perut ibu (laparatomi), dan rahim (histerotomi), untuk
mengeluarkan bayi. Bedah caesar umumnya dilakukan ketika proses persalinan
normal melalui vagina tidak memungkinkan. Karena berisiko kepada komplikasi
medis lainnya.
Melahirkan
dengan metode Caesar hukumnya boleh ketika memenuhi ketentuan-ketentuan secara
syariat, yaitu;
1) Dalam kondisi dharurat,
yaitu adanya kekhawatiran terancamnya jiwa ibu, bayi, atau keduanya secara
bersamaan. Operasi caesar untuk menyelamatkan jiwa ibu, misalnya untuk ibu yang
mengalami eklampsia (kejang dalam kehamilan), mempunyai penyakit jantung,
persalinan tiba-tiba macet, pendarahan banyak selama kehamilan, infeksi dalam
rahim, atau dinding rahim yang menipis akibat bedah caesar atau operasi rahim
sebelumnya. Operasi caesar untuk menyelamatkan jiwa bayi, yaitu jika sang ibu
sudah meninggal dunia tapi bayi yang berada di dalam perutnya masih hidup.
Operasi caesar untuk menyelamatkan jiwa ibu dan bayi secara bersamaan, adalah
ketika air ketuban pecah, namun belum ada kontraksi akan melahirkan, bayi
terlilit tali pusar, sehingga tidak dapat keluar secara normal, usia bayi belum
matang (prematur), posisi bayi sungsang dan lain-lain.
2) Dalam kondisi hajat,
yaitu kondisi di mana menurut dukun/bidan/dokter ahli operasi merupakan jalan
terbaik untuk menghindari kondisi tertentu pada bayi atau ibunya misalnya untuk
menghindari cacat fisik, atau seperti kondisi ibu yang kesulitan untuk
melahirkan, atau efek negatif berkepanjangan pada ibu. Hal tersebut juga
harus didasarkan pada pertimbangan dampak negatif yang akan timbul apabila
melalui proses persalinan yang wajar.
Dalam
Fatwa Al Azhar dijelaskan:
وبما
قلناه ينفق معنى الحديث الشريف وقواعد الدين الإسلامى القويم، فإنها مبنية على
رعاية المصالح الراجحة، وتحمل الضرر الأخف لجلب مصلحة تفويتها أشد من هذا الضرر
على أن الظاهر الآن أنه يجوز شق بطن الحى إذا ظن أنه لا يموت بهذا الشق وكان فيه
مصلحة له. ولعل الفقهاء لم ينصوا على مثل هذا ،بل أطلقوا القول
فى تحريم شق بطن الحى، لأن فن الجراحة لم يكن قد تقدم فى زمنهم كما هو الآن وبهذا
علم الجواب عن السؤال . واللّه
سبحانه وتعالى أعلم )فتاوى الأزهر (6 / 177)
Dan
apa yang telah kami katakan adalah arti dari Hadis dan aturan agama Islam tegak
didasarkan pada upaya perlindungan pada maslahat/kepentingan yang paling
penting dan melakukan kerusakan yang paling ringan demi kepentingan/maslahat kehilangan
lebih dari kerusakan ini. Sekarang jelas bahwa itu diperbolehkan untuk membedah
perut orang yang masih hidup apabila diduga ia tidak meninggal sebab pembedahan
itu dan adanya maslahat baginya. Mungkin fuqaha ' tidak menetapkan hal semacam
itu, tetapi mereka mengatakan bahwa haram untuk membedah perut orang yang masih hidup, karena cabang
ilmu operasi tidak maju dalam waktu mereka seperti pada masa sekarang ini.
(Fatawa al Azhar juz 6 hlm 177)
- 3 Hukum menyusui anak bagi seorang ibu yang
berstatus ODHA.
Dalam
agama, seorang ibu yang berstatus ODHA boleh mengasuh anaknya yang sehat dan
menyusuinya selama tidak dilarang secara medis dan menilainya dapat menularkan.
Namun apabila dalam pandangan medis hal tersebut sangat berresiko
menularkan maka dalam hal ini ibu yang berstatus ODHA tidak boleh menyusui
anaknya yang sehat untuk menjaga maslahat yang lebih besar yaitu kesehatan
anak.
رابعاً:
حضانة الأم المصابة بمرض نقص المناعة المكتسب (الإيدز) لوليدها السليم وإرضاعه:
لما كانت المعلومات الطبية الحاضرة تدل على أنه ليس هناك خطر مؤكد من حضانة الأم
المصابة بعدوى مرض نقص المناعة المكتسب (الإيدز) لوليدها السليم، وإرضاعها له،
شأنها في ذلك شأن المخالطة والمعايشة العادية، فإنه لا مانع شرعاً من أن تقوم الأم
بحضانته ورضاعته ما لم يمنع من ذلك تقرير طبي.
Keempat: Pengasuhan dan menyusuinya ibu yang positif HIV AIDS kepada anaknya yang sehat (negativ HIV).
Karena
informasi medis saat ini menunjukkan bahwa tidak ada risiko yang pasti dari
pengasuhan dan penyusuan ibu yang terinfeksi HIV AIDS pada anaknya yang sehat.
Konteksnya adalah konteks interaksi dan
pergaulan sehari-hari, karenanya tidak ada larang dalam agama seorang ibu
mengasuh anaknya dan menyusuinya selama tidak ada larang menurut ketentuan
medis.
[2] Yusuf
al-Qardhawi, Fatawa Mu`ashirah, Bairut-Dar al-Qalam, cet ke-9, 1422 H/2001 M,
Vol: II, h. 560
[4] Yahya bin Syaraf, Syarh
Nawawi ‘ala Muslim, Bairut: Dar Ihya’ Turats, 1392 H vol 18 hlm 113
[5] Wizarat al Auqof wa Syu’un al
Islamiyah, Maushu’ah al Fiqhiyyah al Quwaitiyah, Kuwait: Dar al Salasil,
Cet 2 vol 14 hlm 18
[6] Imam al Haramain, Nihayat
al Mathlab fi Dirayat al Madzhab, Bairut: Dar al Minhaj, 2007, vol 2 hlm
518
[7] Bahauddin Muhammad bin
Yusuf, bin Ya`qub al-Jundi al-Kindi, as-Suluk fi Thabaqat al-Ulama wa al-Muluk,
tahqiq, Muhammad bin Ali bin Husain
al-Akwa` al-Hawali, Shan`a-Maktabah al-Irsyad, 1995 M, Vol: I, h. 640
[9] Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair,
Bairut-Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1403 H, h. 121 -122
[10] Sulaiman al-Jamal, Hasyiah
al-Jamal ala Syar al-Manhaj, Beirut-Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet ke-1,
1418/1992, Vol: VIII, h. 83
[11] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh
al-Islami wa Adillatuhu, Bairut-Dar al-Fikr, cet ke-31, 1430 H/2009 M, Vol:
VIII, h. 822
[12] Al Fawaqih al Duwani ‘ala Risalat
Ibni Abi Zaid, vol 2 hlm 290
Tidak ada komentar:
Posting Komentar